KEKAYAAN YANG MELAMPAUI BATAS |
Ada sebuah hadits shahih yang berbunyi :
» بادروا بالأعمال سبعًا، هل تنتظرون إلا فقراً مُنسيًا، أو غنًى مُطغيًا، .....................؟ «
“Segeralah kalian melakukan amal shalih karena tujuh hal. Apakah kalian menunggu hingga mengalami kefakiran yang melupakan, kekayaan yang melampaui batas…………...” (HR. Tirmidzi, no. 2306).
Saudaraku,
Seandainya ada penawaran dari yang Maha Kaya kepada kita untuk memilih salah satu dari dua jalan yang akan menghantarkan kita ke surga, yakni jalan kekayaan atau jalan kemiskinan, mana jalan yang kita pilih? Bisa dipastikan, lebih dari tujuh puluh sembilan persen kita memilih jalan kekayaan.
Karena yang tergambar di benak kita, kekayaan menjanjikan kebahagiaan. Kesenangan yang tak bertepi. Kedamaian hati yang tak berujung. Keceriaan sepanjang hayat. Segunung senyuman yang tak pernah kering. Keluasan jiwa yang tak pernah menyempit. Senandung lagu kedamaian yang tak pernah surut. Dan seterusnya.
Walau pun setelah kita mengambil jalan kekayaan ini, kita tak dapat memerikan garansi apakah kita bisa istiqamah mengayunkan langkah di jalan ini sampai bertemu Allah s.w.t di surga, atau di tengah jalan kita berbalik dan memutuskan untuk menghentikan langkah. Karena jalan yang dilalui banyak yang mendaki. Ada sapaan debu pasir yang mengaburkan pandangan. Terkadang ada tiupan angin puting beliung mengiringi derasnya air hujan yang turun mengguncang bumi. Ada onak dan duri yang dapat menghentikan kaki melangkah. Dan seterusnya.
Duduk manis di kursi parlemen. Hati riang menikmati kendaraan model terbaru, walau pun harus mengangsur setiap bulan. Menjelajahi aneka ragam kuliner yang mengundang selera. Bisnis kontrakan yang terus berkembang. Karir politik yang semakin meroket tak pernah sepi digadang-gadang orang lain menjadi pejabat teladan. Kebutuhan keluarga anak dan istri tak pernah di-resahkan. Bahkan tidak jarang berencana membuka cabang di lain tempat telah di-wacanakan.
Saudaraku,
Bila kekayaan dan gemerlapnya dunia telah menguasai diri kita, maka jeritan orang-orang yang kesusahan dan dirundung malang tak lagi terdengar di telinga kita. Perihnya rasa lapar tak lagi menyentuh perasaan kita. Anak-anak balita yang meninggal akibat dua hari hanya mengkonsumsi air galon, tak menyentuh jiwa kita. Kewajiban zakat dan anjuran sedekah terasa asing dalam sanubari kita. Keterpurukan ekonomi yang menimpa sebagian besar masyarakat di sekitar kita hanya seperti narasi berita yang telah basi. Bayangan rekan-rekan yang mendukung kita saat kampanye dulu, perlahan-lahan hilang ditelan angin senja, padahal kita dipastikan tak berada di posisi saat ini tanpa dukungan mereka. Dan seterusnya.
Sekarang kita bergelimang harta, karena saat ini kita sedang naik daun, kata salah seorang tetangga di kampung. Ada di antara kita yang saat ini duduk manis di kursi parlemen. Ada yang duduk di pusaran eksekutif. Ada yang menjadi senator. Ada yang menjadi kontraktor. Menjadi pengusaha kesohor. Menjadi direktur sebuah perusahaan bonafid. Menjadi mudir di sebuah lembaga pendidikan berkemajuan. Memuncaki karir di dunia akademisi. Menjadi pejabat publik. Fungsionaris partai politik. Menjadi ASN. Menjadi pedagang sukses. Pengebun dan petani handal. Dan lain sebagainya.
Padahal sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu seperti apa tampilan fisik kita pada saat itu?. Bagaimana harta kekayaan kita kala itu?. Mungkin waktu itu status kita sebagai kontraktor permanen, atau bahkan mungkin masuk dalam kamus “nomaden” berpindah dari satu pintu ke pintu yang lain. Ada yang sekolah/kuliah sambil mengais biaya pendidikan. Ada yang menjadi pedagang keliling. Ada yang menjadi kondektur. Ada yang mengayuh becak. Menjadi pemulung. Menjadi tukang kue. Dan yang seirama dengan itu.
Walau pun ada yang mengalir darah kekayaan sejak dilahirkan atau memiliki alur keturunan ningrat dan darah biru, meskipun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Saudaraku,
Sejarah mencatat, bagaimana peringatan Allah s.w.t yang diberikan kepada orang yang mendapat karunia kekayaan kemudian ia lupa diri. Azab dan siksa datang menyapa, tak mampu dihindari.
Kaum nabi Nuh a.s, bergelimang kekayaan dan harta berlimpah ruah, namun mereka kufur nikmat dan menentang dakwah Rasul mereka. Efeknya Allah hanyutkan mereka larut bersama derasnya air bah yang menenggelamkan diri mereka.
Kaum ‘ad, kaumnya nabi Hud a.s Allah hantam mereka dengan angin puting beliung yang mengiringi hujan deras selama 8 hari tujuh malam. Jadilah mereka laksana seonggok pohon kurma yang lumpuh.
Kaum Tsamud, kaumnya nabi Shalih a.s Allah datangkan bencana dahsyat berupa pekikan halilintar dahsyat yang memecahkan pendengaran mereka. Mereka hancur berkeping-keping tak berbekas.
Fir’aun dan bala tentaranya Allah tenggelamkan mereka di dasar laut merah. Qarun, Allah benamkan ke dasar bumi. Tokoh-tokoh Quraisy, seperti Abu Jahal, Umayah bin Khalaf, Utbah bin Rabi’ah dan lain sebagainya Allah binasakan mereka di sumur Badar. Dan seterusnya.
Saudaraku,
Tidak sedikit, orang yang diuji dengan kekayaan dan harta berlimpah, sadar bahwa ia sedang berjuang di medan ujian-Nya. Dunia dan keindahannya menyilaukan pandangannya. Menggelapkan mata bathinnya. Memperdaya hawa nafsunya. Bisikan setan mengalahkan obor imannya. Mementahkan kedewasaannya. Mematikan nuraninya. Menutupi alam pikirannya. Syahwatnya menutupi syukurnya. Dan seterusnya.
Hasan al-Basri bertutur, “Umar bin Khattab r.a suatu siang melewati tong sampah yang telah dipenuhi barang-barang buangan manusia, ia menghentikan langkah seraya berkata kepada kami, “Seperti inilah harta dunia yang kalian kejar dengan perasan keringat.” (Samir al-mukminin, Muhammad al-Hajjar).
Ibnu Umar r.a menceritakan pengalamannya bahwa sewaktu thawaf ia mendengar ada seseorang yang berdoa’, “Allahumma qini syuhha nafsi” ya Allah jauhkan aku dari kekikiran jiwaku.” Setelah aku dekati, ternyata dia adalah Abdurahman bin Auf r.a.
Abdurahman bin Auf r.a hanya salah satu contoh dari sekian banyak figur sahabat yang mampu menaklukan ujian harta benda dan kekayaan serta kesenangan hidup di dunia. Harta kekayaan dunia diletakkan di kedua tangannya, bukan tersimpan di dalam hatinya.
Utsman bin Affan r.a biasa mengundang rakyat kecil ke istana, dan menjamu mereka dengan hidangan berkelas istana, walau pun hari-harinya ia memberikan menu sehari-hari untuk keluarganya dengan menu makanan yang dikonsumsi masyarakat miskin di pedalaman kampung pada saat itu.
Saudaraku,
Kekayaan yang berbalut keimanan dan diperindah dengan kedermawanan, mengundang pujian Nabi s.a.w, “Dzalika fadhlullahi yu’tihi man yasha’” itu adalah karunia Allah yang deberikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. (HR. Muslim no. 595).
Pujian nubuwah perihal kedudukan orang kaya yang banyak bersyukur, lidah yang selalu dibasahi dengan zikir dan menjadi dermawan, karena menjadi aksiomatis untuk membangun sosok pribadi unggul seperti itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Ada mahar yang harus diberikan. Dan tidak sedikit peluh yang harus dikucurkan.
Untuk itulah penyebutan ujian harta dalam al-Qur’an, selalu didahulukan dari penyebutan anak-anak dan lainnya, karena secara habitat, tidak ada yang tidak suka harta. Dan bahwa fitnah harta sering membuat orang terlena, lupa dengan hakikat kehidupan dunia yang fana ini.
Bahkan Nabi s.a.w pernah mewanti-wanti kita dengan sabdanya, “Sesungguhnya setiap umat memiliki ujian, dan ujian umatku adalah harta.” (HR. Tirmidzi, no. 2336 dan Ibnu Hibban, no. 3223).
Saudaraku,
Ingatlah bahwa harta yang ada pada kita sekarang adalah titipan-Nya. Suatu saat akan diambil oleh Penitip-nya dari tangan kita. Dan yang pasti kita akan meninggalkannya.
Memperbagus ibadah. Memperbarui kapal pelayaran menuju dermaga cinta-Nya. Senantiasa meningkatkan keta’atan. Memperbanyak kuantitas amal kebajikan. Memberi pinjaman kepada Allah dengan bentuk pinjaman terbaik. Mengeluarkan hak-hak Allah, orang-orang yang tidak mampu dan membutuhkan dalam harta kita. Dan lain sebagainya.
Mari kita jadikan harta titipan-Nya sebagai sarana membuka pintu surga-Nya yang tertinggi. Membuahkan keberkahan dalam hidup kita. Dan mengalirkan kebahagiaan di hati orang-orang yang membersamai kita dalam kebaikan dan kebajikan. Aamiin. Wallahu a’lam bishawab.
Metro, 23 April 2020
Fir’adi Abu Ja’far
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..