Al-Ihathatun Nazhariyah (penguasaan teori/konsep).
Kebangkitan umat akan terwujud semakin kokoh jika ditopang penguasaan teori/konsep yang mencakup bidang agama maupun teori/konsep umum. Kita memerlukan orang-orang yang memahami fikih, syariah, ushuludin, tafsir, hadits, fikih dakwah, fikih ahkam, dan lain sebagainya; kita juga memerlukan orang-orang yang memahami ekonomi, politik, sosial, sains, psikologi, teknologi, dan lain sebagainya.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah berkata, “Umat Islam tidak pernah mengenal dikotomi ilmu dan agama, sebagaimana yang terjadi di dunia Eropa selama berabad-abad. Bahkan berulang kali saya katakan bahwa ilmu—bagi kita—adalah agama, dan agama adalah ilmu. Ilmu—bagi kita—adalah ibadah, karenanya menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Kewajiban ini mencakup segala disiplin ilmu yang bermanfaat, baik ilmu duniawi maupun agama, baik berkategori fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain.”[5]
Karena itulah pada masa lalu, para ulama Islam memiliki kecermelangan prestasi dalam ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu duniawi.
Ibnu Rusyd (wafat th. 595 H) mengarang sebuah buku yang memuat fiqih perbandingan yang cukup terkenal, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Selain itu, ia juga mengarang buku tentang ilmu kedokteran Al-Kuliyat, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Latin dan menjadi referensi utama orang-orang di Eropa selama berabad-abad.
Semasa dengan Ibnu Rusyd, di belahan dunia timur, kita mengenal Fakhruddin Ar-Razy (wafat th. 606 H) yang karya-karya keagamaannya dalam bidang tafsir, ushul fiqih, dan kalam telah masyhur. Namun ia juga terkenal kepakarannya dalam bidang kedokteran. Para penulis biografinya mengatakan bahwa kemasyhuran Ar-Razi dalam ilmu kedokteran tidak lebih rendah dibanding kemasyhurannya dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Masih dalam ilmu kedokteran, kita mengenal Ibnu Nafis, penemu kapiler darah (wafat th. 687 H) yang juga merupakan pakar fiqih mazhab Syafi’i. Biografi tokoh ini ditulis oleh Imam Tajuddin As-Subki dalam bukunya yang terkenal, Tabaqatus Syafi’iyah al-Kubra.[6]
*****
Penguasaan teori/konsep ini dibutuhkan karena tujuan eksistensi kita di muka bumi ini paling tidak mencakup dua hal:
Pertama, sebagai ‘ibadullah (hamba Allah) yang menjalankan tugas peribadahan dan iqamatuddin (menegakkan agama—yakni memurnikan aqidah tauhid seutuhnya).[7]
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS. Asy-Syura, 42:13)
Kedua, sebagai khalifah—pewaris dan penguasa di muka bumi yang memiliki tugas untuk melakukan ri’ayah (pemeliharaan) dan isti’mar (memakmurkannya). Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.”. (QS. Hud, 11: 61)
Ustadz Attabiq Luthfi hafizhahullah dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa ayat di atas oleh Imam Al-Alusi rahimahullah dijadikan dalil akan kewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan kemampuan dan peran setiap orang yang beriman. Sedangkan menurut Ibnu Asyur rahimahullah, maksud dari kata ‘isti’mar’ yang sinonim dengan i’mar’ adalah aktivitas meramaikan bumi dengan penataan bangunan dan pelestarian lingkungan dengan menanam pohon dan bercocok tanam sehingga semakin panjang usia kehidupan bumi ini dengan seluruh penghuninya.[8]
Guna menjalankan risalah udzma (misi agung) ini—yakni misi ubudiyah dan khilafah—kita sebagai manusia membutuhkan bekal teori, konsep, atau ilmu yang memadai. Bukankah Adam ‘alaihis salam pun diberikan bekal ilmu sebelum ia diangkat menjadi khalifah di muka bumi? Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” (QS. Al-Baqarah, 2: 31-33).
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَنَفَرٌ مِنَ التَّابِعِيْنَ: عَلَّمَهُ أَسْمَاءَ جَمِيْعِ الأَشْيَاءِ كُلِّهَا: جَلِيْلِهَا، وَحَقِيْرِهَا.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan beberapa orang tabi’in rahimahumullah berkata: “Allah Ta’ala mengajarkan kepada Adam nama-nama semua hal, yang besar maupun yang kecil.”[9]
Pengertian asma (nama-nama) pada ayat di atas adalah mencakup segala hal, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاءَ كُلَّهَا حَتَّى القَصْعَةِ، وَالقُصَيْعَةِ
“Allah mengajarkan Adam tentang segala sesuatu, sampai tentang qash’ah (tempat makanan untuk sepuluh orang) dan qushai’ah (kurang dari sepuluh).”[10]
Dengan kata lain, Adam ‘alaihis salam telah diberikan kemampuan mengenali karakteristik segala sesuatu dan sarana memanfaatkannya. Az-Zamakhsyari berkata: “Allah Ta’ala telah mengajarkan Adam keadaan segala sesuatu dan semua manfaat yang terkait dengannya baik manfaat duniawi maupun dini (agama).”[11]
Selanjutnya ....
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..