Hal-hal
yang perlu dilakukan dan dianjurkan terhadap orang yang meninggal dunia.
1.
Ketika Baru Saja Meninggal
a.
Dianjurkan memejamkan mata orang yang baru
meninggal dunia
Dalil hadits dari Ummu Salamah Hindun
bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, ia mengatakan:
دخل
رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ على أبي سلمةَ وقد شقَّ بصرُه . فأغمضَه .
ثم قال إنَّ الروحَ إذا قُبِض تبِعه البصرُ
“Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang telah meninggal,
ketika itu kedua matanya terbuka. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam pun
memejamkan kedua mata Abu Salamah dan bersabda: “Sesungguhnya bila ruh telah
dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya”
(HR. Muslim no. 920).
Ulama ijma bahwa memejamkan mata
mayit hukumnya sunnah.
Ketika memejamkan mata jenazah tidak
ada dzikir atau doa tertentu yang berdasarkan dalil yang shahih.
b. Mendo’akan kebaikan kepada mayit
Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam setelah memejamkan
mata Abu Salamah, beliau berdo’a:
اللهم اغفر لأبي سلمة وارفع درجته في
المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين وافسح له في
قبره ونور له فيه
“Ya
Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk
orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi
anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam,
luaskanlah kuburnya dan terangilah”
(HR. Muslim no. 920).
Atau boleh juga doa-doa lainnya yang berisi
kebaikan untuk mayit.
c.
Mengikat
dagunya agar tidak terbuka
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:
و شد لحييه] و ذلك مخافة أن يبقى فمه
مفتوحا حالة غسله و حالة تجهيزه فيشد حتى ينطبق فمه مع أسنانه]
“Ketika mayit meninggal [ditutup mulutnya] yaitu
karena dikhawatirkan mulutnya terbuka ketika dimandikan dan ketika
dipersiapkan. Sehingga hendaknya ditutup sampai bersatu antara gigi dan
mulutnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil
Mukhtasharat, 1/424).
Adapun tata caranya longgar, biasanya dengan
menggunakan kain yang lebar dan panjang diikat melingkar dari dagu hinggake
atas kepalanya, sehingga agar mulutnya tertahan dan tidak bisa terbuka.
Menutupnya
dengan kain
Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha,
beliau mengatakan:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ ببُرْدٍ حِبَرَةٍ
“Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau wafat, beliau ditutup dengan kain
hibrah (sejenis kain Yaman yang bercorak)”
(HR. Bukhari no. 5814, Muslim no. 942).
Dianjurkan
bersegera mempersiapkan mayit untuk dikubur
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
أَسْرِعُواْ بالجنازةِ ، فإن تَكُ صالحةً
فخيرٌ تُقَدِّمُونَهَا ، وإن يَكُ سِوَى ذلكَ ، فشَرٌّ تضعونَهُ عن رقابكم
“Percepatlah
pengurusan jenazah. Jika ia orang yang shalih di antara kalian, maka akan jadi
kebaikan baginya jika kalian percepat. Jika ia orang yang bukan demikian, maka
keburukan lebih cepat hilang dari pundak-pundak kalian” (HR. Bukhari no. 1315, Muslim no. 944).
2. Memandikan Mayit
Hukum memandikan mayit
Memandikan mayit hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu,
beliau berkata:
بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ
عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ
، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ،
وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ ، ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا
تُخَمِّروا رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي
“Ada
seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun
bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan
jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam
keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no.
1206).
Juga hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhialahu’anha,
ia berkata:
تُوفيتْ إحدى بناتِ النبيِّ صلَّى اللهُ
عليهِ وسلَّمَ ، فخرج فقال : اغْسِلْنَها ثلاثًا ، أو خمسًا ، أو أكثرَ من ذلك إن
رأيتُنَّ ذلك ، بماءٍ وسدرٍ ، واجعلنَ في الآخرةِ كافورًا ، أو شيئًا من كافورٍ،
فإذا فرغتُنَّ فآذِنَّنِي فلما فرغنا آذناه فألقى إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثلاثة
قرون وألقيناها خلفها
“Salah
seorang putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meninggal (yaitu Zainab). Maka
beliau keluar dan bersabda: “mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau
lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara.
Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau
sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”.
Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau.
Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir
rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya” (HR. Bukhari no. 1258, Muslim no. 939).
Siapa
yang memandikan mayit?
Yang memandikan mayit hendaknya orang
yang paham fikih pemandian mayit. Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat
mayit. Sebagaimana yang memandikan jenazah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Ali radhiallahu’anhu dan kerabat Nabi. Ali mengatakan:
غسلتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم , فذهَبتُ أنظُرُ ما يكونُ منَ الميتِ فلم أرَ شيئًا , وكان طيبًا حيًّا
وميتًا , وولي دفنَه وإجنانَه دونَ الناسِ أربعةٌ : عليُّ بنُ أبي طالبٍ ,
والعباسُ , والفضلُ بنُ العباسِ , وصالحٌ مولى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم وألحدَ لرسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لحدًا ونُصِبَ عليه اللبنُ
نَصبًا
“Aku
memandikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan aku memperhatikan jasad
beliau seorang tidak ada celanya. Jasad beliau bagus ketika hidup maupun ketika
sudah wafat. Dan yang menguburkan beliau dan menutupi beliau dari pandangan
orang-orang ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al Abbas, Al Fadhl bin Al
Abbas, dan Shalih pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Aku juga
membuat liang lahat untuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan di atasnya
diletakkan batu bata” (HR. Ibnu Majah no. 1467
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Dan wajib bagi jenazah laki-laki
dimandikan oleh laki-laki. Demikian juga jenazah wanita dimandikan oleh wanita.
Karena Kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan
wajibnya menjaga aurat. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam ditanya:
يا رسولَ اللَّهِ عوراتُنا ما نأتي منها
وما نذَرُ قالَ احفَظْ عورتَكَ إلَّا من زوجتِكَ أو ما ملكت يمينُكَ
“Wahai
Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh kami tampakkan dan kepada
siapa tidak boleh ditampakkan? Rasulullah menjawab: “tutuplah auratmu kecuali
kepada istrimu atau budak wanitamu”
(HR. Tirmidzi no. 2794, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kecuali bagi anak yang berusia kurang
dari 7 tahun maka boleh dimandikan oleh lelaki atau wanita.
Perangkat
memandikan mayit
Perangkat yang dibutuhkan untuk
memandikan mayit diantaranya:
- Sarung tangan atau kain untuk dipakai orang
yang memandikan agar terjaga dari najis, kotoran dan penyakit
- Masker penutup hidung juga untuk menjaga orang
yang memandikan agar terjaga dari penyakit
- Spon penggosok atau kain untuk membersihkan
badan mayit
- Kapur barus yang sudah digerus untuk
dilarutkan dengan air
- Daun sidr (bidara) jika ada, yang busanya
digunakan untuk mencuci rambut dan kepala mayit. Jika tidak ada, maka bisa
diganti dengan sampo
- Satu ember sebagai wadah air
- Satu embar sebagai wadah air kapur barus
- Gayung
- Kain untuk menutupi aurat mayit
- Handuk
- Plester bila dibutuhkan untuk menutupi luka
yang ada pada mayat
- Gunting kuku untuk menggunting kuku mayit jika
panjang
Cara
memandikan mayit
Melemaskan
persendian mayit
Syaikh Abdullah bin Jibrin
mengatakan:
وأما تليين مفاصله فالحكمة في ذلك أن
تلين عند الغسل، وذلك بأن يمد يده ثم يثنيها، ويمد منكبه ثم يثنيه، وهكذا يفعل
بيده الأخرى، وكذلك يفعل برجليه، فيقبض رجله ليثنيها ثم يمدها مرتين أو ثلاثاً حتى
تلين عند الغسل
“Adapun melemaskan persendian,
hikmahnya untuk memudahkan ketika dimandikan. Caranya dengan merentangkan
tangannya lalu ditekuk. Dan direntangkan pundaknya lalu ditekuk. Kemudian pada
tangan yang satunya lagi. Demikian juga dilakukan pada kaki. Kakinya pegang
lalu ditekuk, kemudian direntangkan, sebanyak dua kali atau tiga kali. Sampai
ia mudah untuk dimandikan” (Ad Durar Al
Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat,
1/424).
Dan hendaknya berlaku lembut pada
mayit. Karena Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam bersabda:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ
حَيًّا
“Memecah
tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan
hidup” (HR. Abu Daud no. 3207, dishahihkan
Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Melepas
pakaian yang melekat di badannya
Syaikh Abdullah bin Jibrin
mengatakan:
(وخلع ثيابه) يعني: الثياب التي مات فيها يسن
أن تخلع ساعة موته، ويستر برداء أو نحوه
“[Dilepaskan pakaiannya] yaitu pakaian
yang dipakai mayit ketika meninggal. Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia
baru wafat. Kemudian ditutup dengan rida (kain) atau semisalnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil
Mukhtasharat, 1/424).
Namun orang yang meninggal dunia
ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah dan kepalanya, berdasarkan hadits
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas.
Cara melepaskan pakaiannya jika
memang sulit untuk dilepaskan dengan cara biasa, maka digunting hingga
terlepas.
Menutup
tempat mandi dari pandangan orang banyak
Syaikh Abdullah bin Jibrin
mengatakan:
أن يستر في داخل غرفة مغلقة الأبواب
والنوافذ، ولا يراه أحد إلا الذين يتولون تغسيله، ولا يجوز أن يغسل أمام الناس
“Mayat ditutup dalam suatu ruangan
yang tertutup pintu dan jendelanya. Sehingga tidak terlihat oleh siapapun
kecuali orang yang mengurus pemandian jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di
hadapan orang-orang banyak” (Ad
Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/428).
Kemudian mayit ditutup dengan kain
pada bagian auratnya terhadap sesama jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi
laki-laki dan dari dada hingga lutut bagi wanita.
Teknis
pemandian
Disebutkan dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat:
نوى وسمى وهما كفي غسل حَيّ ثمَّ يرفع
راس غير حَامِل الى قرب جُلُوس ويعصر بَطْنه بِرِفْق وَيكثر المَاء حِينَئِذٍ ثمَّ
يلف على يَده خرقَة فينجيه بهَا وَحرم مس عَورَة من لَهُ سبع
ثمَّ يدْخل اصبعيه وَعَلَيْهَا خرقَة
مبلولة فِي فَمه فيمسح اسنانه وَفِي مَنْخرَيْهِ فينظفهما بِلَا ادخال مَاء ثمَّ
يوضئه وَيغسل راسه ولحيته برغوة السدر وبدنه بثفله ثمَّ يفِيض عَلَيْهِ المَاء
وَسن تثليث وتيامن وامرار يَده كل مرّة على بَطْنه فان لم ينق زَاد حَتَّى ينقى
وَكره اقْتِصَار على مرّة وَمَاء حَار وخلال واشنان بِلَا حَاجَة وتسريح شعره
وَسن كافور وَسدر فِي الاخيرة وخضاب شعر
وقص شَارِب وتقليم اظفار ان طالا
“Berniat dan membaca basmalah,
keduanya wajib ketika mandi untuk orang hidup. Kemudian angkat kepalanya jika
ia bukan wanita hamil, sampai mendekati posisi duduk. Kemudian tekan-tekan
perutnya dengan lembut. Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian lapisi tangan
dengan kain dan lakukan istinja (cebok) dengannya. Namun diharamkan menyentuh
aurat orang yang berusia 7 tahun (atau lebih). Kemudian masukkan kain yang
basah dengan jari-jari ke mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang
hidungnya. Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air. Kemudian lakukanlah wudhu
pada mayit. Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya dengan busa dari daun
bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian belakangnya. Kemudian siram air
padanya. Disunnahkan diulang hingga tiga kali dan disunnahkan juga memulai dari
sebelah kanan. Juga disunnahkan melewatkan air pada perutnya dengan tangan.
Jika belum bersih diulang terus hingga bersih. Dimakruhkan hanya mencukupkan
sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan air panas dan juga daun usynan tanpa
kebutuhan. Kemudian sisirlah rambutnya dan disunnahkan air kapur barus dan
bidara pada siraman terakhir. Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong
kumisnya serta memotong kukunya jika panjang”.
Poin-poin
tambahan seputar teknis pemandian mayit
- Yang wajib dalam memandikan mayit adalah
sekali. Disunnahkan tiga kali, boleh lebih dari itu jika dibutuhkan
- Bagi jenazah wanita, dilepaskan ikatan
rambutnya dan dibersihkan. Kemudian dikepang menjadi tiga kepangan dan
diletakkan di bagian belakangnya. Sebagaimana dalam hadits Ummu Athiyyah
di atas
Jika
tidak memungkinkan mandi, maka diganti tayammum
Apabila tidak ada air untuk
memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika
dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki,
sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi
dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan
penghalang dari kain atau yang lainnya.
Syaikh Abdullah bin Jibrin
mengatakan:
(وإذا تعذر غسل ميت يمم) وذلك لأجل المشقة،
فيضرب أحدهم يديه بالتراب، ويمسح وجهه، ويمسح كفيه، ويقوم مقام الغسل، ويمثلون
لذلك بالمحترق الذي إذا غسل تمزق لحمه، فلا يستطيعون أن يغسلوه، وكذلك من كان في
بدنه جروح كثيرة، وجلدته بشعة، بحيث إنه إذا صب عليه الماء تمزق جلده، وتمزق لحمه؛
فلا يغسل والحالة هذه
“[Jika ada udzur untuk dimandikan,
maka mayit di-tayammumi], yaitu karena adanya masyaqqah. Maka salah seorang
memukulkan kedua tangannya ke debu kemudian diusap ke wajah dan kedua telapak
tangannya. Ini sudah menggantikan posisi mandi. Misalnya bagi orang yang mati
terbakar dan jika dimandikan akan rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan.
Demikian juga orang yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika
terkena dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan dagingnya.
Maka yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad
Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435-436).
Disunnahkan
untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ
وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa
yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul
jenazah, maka hendaklah dia wudhu“.
(HR Abu Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71).
Janin
yang keguguran
Janin yang mati karena keguguran dan
telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Jika 4
bulan atau kurang maka tidak perlu. Berdasarkan hadits dari Al Mughirah bin
Syu’bah secara marfu’:
والسِّقطُ يُصلِّى عليه ويُدعَى لوالدَيه
بالمغفرةِ والرحمةِ
“Janin
yang mati keguguran, dia dishalatkan dan dido’akanampunan dan rahmat untuk
kedua orang tuanya” (HR. Abu Dawud no. 3180,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Syaikh Abdullah bin Jibrin
mengatakan:
السقط الذي عمره دون أربعة أشهر: الصحيح
أنه لا يكفن، وإنما يلف ويدفن في مكان طاهر، وليس له حكم الإنسان، فإذا تمت له
أربعة أشهر فإنه يعامل كالحي، فيغسل، ويكفن، ويصلى عليه
“Janin yang mati keguguran jika di
bawah empat bulan maka yang shahih ia tidak dikafani. Namun ia dilipat dan
dikuburkan di tempat yang bersih. Dan ia tidak diperlakukan sebagaimana
manusia. Jika sudah berusia 4 bulan (atau lebh) maka diperlakukan sebagaimana
manusia yang hidup, yaitu dimandikan, dikafani dan dishalatkan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil
Mukhtasharat, 1/435).
3. Mengkafani mayit
Hukum
mengkafani mayit
Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana
memandikannya, yaitu fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas
radhiallahu’anhu tentang orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di
dalam hadits tersebut Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ
في ثَوْبَيْنِ
“Mandikanlah
ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).
Kadar wajib dari mengkafani jenazah
adalah sekedar menutup seluruh tubuhnya dengan bagus. Adapun yang selainnya
hukumnya sunnah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ
فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
“Apabila
salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus
kafannya” (HR. Muslim no. 943).
Kecuali orang yang meninggal dalam
keadaan ihram, maka tidak ditutup kepalanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ولا تُحَنِّطُوهُ ، ولا تُخَمِّروا
رأسَهُ ، فإنَّ اللهَ يبْعَثُهُ يومَ القيامةِ يُلَبِّي
“Jangan
beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya
di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah”
(HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).
Kriteria
kain kafan
Kain
kafan untuk mengkafani mayit lebih utama diambilkan dari harta mayit.
Dan semua biaya pengurusan jenazah
lebih didahulukan untuk diambil dari harta mayit daripada untuk membayar
hutangnya, ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
….وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
“Kafanilah dia dengan dua bajunya”
Artinya, dari kain yang diambil dari
hartanya.
Memakai
kain kafan berwarna putih hukumnya sunnah, tidak wajib.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
البَسوا مِن ثيابِكم البياضَ وكفِّنوا
فيها موتاكم فإنَّها مِن خيرِ ثيابِكم
“Pakailah
pakaian yang berwarna putih dan kafanilah mayit dengan kain warna putih. Karena
itu adalah sebaik-baik pakaian kalian”
(HR. Abu Daud no. 3878, Tirmidzi no. 994, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.1236).
Disunnahkan
menggunakan tiga helai kain putih.
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha ia
berkata:
كُفِّنَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ
وسلَّمَ في ثلاثِ أثوابٍ بيضٍ سحوليةٍ ، من كُرْسُفَ . ليس فيها قميصٌ ولا عمامةٌ
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dikafankan dengan 3 helai kain putih sahuliyah dari
Kursuf, tanpa gamis dan tanpa imamah”
(HR. Muslim no. 941).
Kafan
mayit wanita
Jumhur ulama berpendapat disunnahkan
wanita menggunakan 5 helai kain kafan. Namun hadits tentang hal ini lemah. Maka
dalam hal ini perkaranya longgar, boleh hanya dengan 3 helai, namun 5 helai
juga lebih utama.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin berkata:
وقد جاء في جعل كفن المرأة خمسة أثواب
حديث مرفوع ، إلا أن في إسناده نظراً ؛ لأن فيه راوياً مجهولاً ، ولهذا قال بعض
العلماء : إن المرأة تكفن فيما يكفن به الرجل ، أي : في ثلاثة أثواب يلف بعضها على
بعض
“Dalam hal ini telah ada hadits
marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di
dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu,
sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu
tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain.” (Asy Syarhul Mumti’, 5/393).
Disunnahkan menambahkan sarung,
jilbab dan gamis bagi mayit wanita. Al
Lajnah Ad Daimah mengatakan:
والمرأة يبدأ تكفينها بالإزار على العورة
وما حولها , ثم قميص على الجسد , ثم القناع على الرأس وما حوله , ثم تلف بلفافتين
“Mayit wanita dimulai
pengkafananannya dengan membuatkan sarung yang menutupi auratnya dan sekitar
aurat, kemudian gamis yang menutupi badan, kemudian kerudung yang menutupi
kepala kemudian ditutup dengan dua lapis” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah. 3/363).
Kafan
untuk anak kecil
Syaikh Abdullah bin Jibrin
mengatakan:
والصغيرة يكفي فيها قميص ولفافاتان
“Mayit anak kecil cukup dengan gamis
dan dua lapis kafan” (Ad Durar Al Mubtakirat, 1/438).
Tidak
diharuskan kain kafan dari bahan tertentu
Tidak ada ketentuan jenis bahan
tertentu untuk kain kafan. Yang jelas kain tersebut harus bisa menutupi mayit
dengan bagus dan tidak tipis sehingga menampakkan kulitnya.
Wewangian
untuk kain kafan
Disunnahkan memberi wewangian pada
kain kafan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ
فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
“Apabila
kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali” (HR Ahmad no. 14580, dishahihkan Al Albani dalam
Ahkamul Janaiz no. 84).
Teknis
Mengkafani Mayit
Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan teknis mengkafani mayit:
وَسن تكفين رجل فِي ثَلَاث لفائف بيض بعد
تبخيرها وَيجْعَل الحنوط فِيمَا بَينهَا وَمِنْه بِقطن بَين الييه وَالْبَاقِي على
منافذ وَجهه ومواضع سُجُوده ثمَّ يرد طرف الْعليا من الْجَانِب الايسر على شقَّه
الايمن ثمَّ الايمن على الايسر ثمَّ الثَّانِيَة وَالثَّالِثَة كَذَلِك وَيجْعَل
اكثر الْفَاضِل عِنْد راسه
“Disunnahkan mengkafani mayit
laki-laki dengan tiga lapis kain putih dengan memberikan bukhur (wewangian dari
asap) pada kain tersebut. Dan diberikan pewangi di antara lapisan. Kemudian
diberikan pewangi pada mayit, di bagian bawah punggung, di antara dua pinggul,
dan yang lainnya pada bagian sisi-sisi wajah dan anggota sujudnya. Kemudian kain
ditutup dari sisi sebelah kiri ke sisi kanan. Kemudian kain dari sisi kanan
ditutup ke sisi kiri. Demikian selanjutnya pada lapisan kedua dan ketiga.
Kelebihan kain dijadikan di bagian atas kepalanya”.
Maka jika kita simpulkan kembali
teknis mengkafani mayit adalah sebagai berikut:
- Bentangkan tali-tali pengikat kafan
secukupnya. Tidak ada jumlah tali yang ditentukan syariat, perkaranya
longgar.
- Bentangkan kain kafan lapis pertama di atas
tali-tali tersebut.
- Beri bukhur pada kain lapis pertama, atau jika
tidak ada bukhur maka dengan minyak wangi atau semisalnya.
- Bentangkan kain kafan lapis kedua di atas
lapis pertama
- Beri bukhur atau minyak wangi pada kain lapis
kedua
- Bentangkan kain kafan lapis ketiga di atas
lapis kedua
- Beri bukhur atau minyak wangi pada kain lapis
ketiga
- Letakkan mayit di tengah kain
- Tutup dengan kain lapis ketiga dari sisi kiri
ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
- Tutup dengan kain lapis kedua dari sisi kiri
ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
- Tutup dengan kain lapis pertama dari sisi kiri
ke kanan, kemudian kain dari sisi kanan ke kiri
- Ikat dengan tali yang ada
Wallahu a’lam
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..